26 Mei 2009

Fenomena Monata, Sera & Palapa

Kebanyakan para pemuda terutama di kota-kota metropolitan gengsi mendengarkan lagu dangdut. Diangapnya kurang gaul dsb. Bedanya, kalau sudah memasuki wilayah Gerbangkertasusila (gresik, bangkalan, mojokerto, Surabaya, sidioarjo, dan lamongan) dan sekitarnya, para pemuda berhamburan keluar saat orkes di gelar. Jumlah penontonnya sangat fantastis, sebanding bahkan dapat melebihi konser musik pop skala nasional. Tentunya bukan semua orkes yang dapat menghadirkan pulahan ribu penonton, tapi hanya tertentu semisal Monata, Palapa atau Sera. Kadang juga RGS, semua bagai undangan resmi ngumpulnya pemuda untuk joget ria dan hampir dipastikan ada olahraga didalamnya alias tawuran.

Ada beberpa pertanyaan, kenapa hal ini terjadi..?. Padahal lagu-lagunya masih itu-itu saja. Di kaset-kaset sudah banyak beredar, terlebih hasil bajakan berupa rekaman dari salah satu pentas (show) sangat mudah didapatkan, hanya butuh Rp. 3.000-5.000 per kepingnya, dan jika dibuktikan hampir merata masyarakat telah memilikinya. Apalagi kalau ada hajatan disertai dengan bunyi sound system, dijamin full music dangdung koplo ala jawa timur.

Jika dilihat dari seni bermusik, empat orkes lokal tersebut tidak juga terlalu jauh beda kualitasnya dengan ribuan lainnya. Pemusiknya adalah orang-orang yang sama, tapi hanya ada pergantian beberapa saja untuk nama orkes yang berbeda. Tapi tetap saja, begitu nama orkes lokal tersebut terdengar pentas shownya dapat dipastikan pengunjung akan penuh. Pendapatan jasa parkir sekali show bisa mencapai 10-15 juta dengan 5000 per/sepeda motor, belum mobil, dll. Mesti hanya hiburan pada hajatan seseorang untuk melaksanakan khitan/perkawinan, sering dimanfaatkan oleh perusahaan rokok untuk mempromosikan produk-produknya. Karena mungkin melihat potensi pasar yang menggiurkan dan dari segi biaya promo sangat minim. Kampanye anti narkoba di jawa timur juga memanfaatkan pentas dangdut, tapi sayangnya sejauh apa yang saja ketahui mereka yang datang ke-orkes (joget) banyak yang menggunakan narkoba apalagi Miras, mesti banyak juga yang tidak.

06 Maret 2009

Dangdut Koplo; selayang pandang




Inilah salah satu genre musik terbaru yang akhirnya disebut sebagai dangdut koplo (Mengapa dinamai koplo ya? Padahal koplo berkonotasi negatif, yaitu zat aditif yang terlarang, pil koplo).

Sang fenomenal…demikian fakta aktualnya. Tidak muda tidak tua, yang kecil maupun yang dewasa, bergender pria atau wanita, bergelar priyayi atawa jelata, semua kesengsem dengan kehadiran musik dangdut yang konon kelahirannya dibidani oleh para ‘maestro’ musik dari ranah Jawa Timur. Meski hard listening, namun ritmenya terasa dinamis, riang serta rancak sehingga memacu adrenalin untuk mengiringnya dengan berjoged berjingkrak-jingkrak. Asyik…assoy geboy…fly… Ditambah nilai plus kejelitaan dan kemolekan wajah ayu para biduanita, dengan goyang dahsyatnya sebagai bumbu penyedap mata sewaktu beraksi di panggung, menjadikan setumpuk alasan mengapa musik ini laku, acceptable, touching heart dan memabukkan para maniak-nya .

Bisa jadi inilah trik dan terobosan ‘mengejutkan’ dari para musikus dangdut untuk menyiasati tren dunia musik yang menghendaki adanya pembaharuan yang kontinyu. Di kala musik dangdut jenuh dengan corak pakemnya, dengan indikasi mandegnya launching lagu-lagu dangdut terbaru dan lambatnya regenerasi artis dangdut di kancah musik Indonesia, revolusi yang dibawa dangdut koplo pun terbilang ‘menyihir’. Meski sebagian besar lagu-lagu yang di’koplo’kan adalah jiplakan dan mengekor dari lagu penyanyi/ grup band lain yang dimodifikasi genrenya, nyatanya aliran musik ini cepat memperoleh kepopuleran dan nancep di hati pendengarnya, meski hanya terbatas di kawasan Jawa Timur dan Pantura Timur Jawa Tengah.

Imbasnya, banyak artis dan orkes melayu (OM) yang ikut terangkat derajat kehidupannya, melejit bersama ke-fenomenal-an dangdut koplo itu sendiri. Sejauh ini yang kondang kita kenal adalah OM New Pallapa dari Sidoarjo, OM Sera dari Gresik, OM Monata dari Pasuruan, dan OM Rass dari Bumi Kartini, Jepara. Bintang pentas dan diva panggung ‘dadakan’ pun bermunculan, nama-nama seperti Brodin, Agung, Shodiq, Dwi Ratna, Lilin Herlina, Vivi Rosalita, Ratna Antika, Gayuh Rakasiwi, Tya Agustin, Evi Puspitasari, Lusiana Safara, Anjar Agustin, Nena Fernanda, dan Denis Arista, yang siap bergoyang menuntaskan animo masyarakat yang haus akan hiburan musik dangdut. Aku yakin, pasti banyak yang tak kenal dengan ‘makhluk permusikan’ di atas sebelum ‘turunnya’ sang fenomenal ini. Dan konon kabarnya Inul Daratista dan Dewi Persik yang sukses melanglang buana menembus papan atas artis ibukota adalah jebolan sekolah ASDK (Akademi Seni Dangdut Koplo).

Lagu-lagu yang diaransemen ulang pun bukan tebang pilih. Pelbagai tembang bisa di versi koplo-kan. Mulai lagu jaman dulu hingga lagu terbaru, tembangnya Tetty Kadi hingga Shanty, Kalau Bulan Bisa Ngomong hingga Kucing Garong, lirik gubahan Rhoma Irama hingga Katon Bagaskara, Favourites Band hingga Kangen Band, bahkan Campursari hingga Pop Melodi. Bukan itu saja, lagu-lagu western oldiesh, pop maupun rock dengan segala variannya tak sulit untuk di’pleset’kan.

Bukti nyata bahwa dangdut koplo kaya akan improvisasi aransemen dengan beragam sentuhan permainan rythim serta melodi, terlebih ‘gebukan maut’ kendang cs, menciptakan warna musik yang khas, riang ceria, segar dan membumi. Lagu yang dinyanyikan baik secara solo maupun duet, saduran maupun orisinal dangdut koplo semacam Kere Munggah mBale, Slenco, SMS, Tragedi Tali Kutang, Kucing Garong, Misscall, Turu Nang Dadane, Karmila, Bibir Louhan, Manten-Mantenan, Sahara, Kandungan, Sir Gobang Gosir, Mlebes, Banyu Kali, Syahdu, Ketahuan, Puspa, Heaven, Leyeh-leyeh, Bokong Semok, Bunga Desa (Raib), Jambu Alas dll tak asing menyapa gendang telinga. Andai ada top ten hit list tembang populer di daerah, pastilah dijejali oleh lagu-lagu koplo.

Kalau aku boleh berintermezzo, dengan berpura-pura menjadi pengamat musik sekelas Bens Leo, merasai dan menikmati berbagai macam lagu yang pernah kudengarkan, didapat satu konklusi penggolongan tipe warna dangdut koplo yaitu “Hardcore Koplo” dan “Shocking Koplo”. Ciri “Hardcore Koplo” adalah pukulan kendang yang bertubi-tubi yang dilakukan sejak intro lagu dimulai. Jadi orang bakal ngeh kalau sejak awal itu adalah lagu dangdut koplo, semisal pada lagu Welcome to My Paradise-nya Nena Fernanda dan Banyu Kali yang dinyanyikan Evi Puspitasari . Lain halnya dengan “Shocking Koplo”, yang dinamai demikian karena mengejutkan. Orang tidak paham kalau tembang yang dibawakan tersebut sejatinya dangdut koplo, karena ketika start lagu tersebut dibawakan sama mirip dengan lagu asli, semisal lagu duetnya Shodiq dan Dwi Ratna membawakan lagu berjudul Syahdu dan Sahara yang dibawakan oleh Brodin. Pertama-tama lagu dibawakan plek dengan versi aslinya, tapi setelah reffrain, irama lagu berubah drastis, ritme dan tempo lagu pun meningkat setelah pukulan kendang yang menghentak-hentak sampai akhir lagu. (Maaf, bagi yang belum pernah mendengar lagu tersebut di atas, silahkan hubungi PKL VCD terdekat.)